Sunday 2 September 2012

::: Maafkan Aku, Belum Sempat Memanggilmu Ayah :::

Ayah kandungku meninggal karena kanker paru² stadium akhir saat saya berusia 6 tahun. Beliau juga meninggalkan Ibu dan Adik saya yang masih berusia 2 tahun. Sejak saat itu kehidupan kami se-hari² sangat sulit. Setiap hari Ibu bekerja membanting tulang di sawah hanya cukup untuk menyelesaikan masalah perut saja.


Saat saya berusia 9 tahun, Ibu menikah lagi dan menyuruh kami memanggil lelaki itu Ayah. Pria tersebut adalah Ayah Tiri saya. Untuk selanjutnya Beliau yang menopang keluarga kami


Dalam ingatan masa kecil, Ayah Tiri saya seorang yang sangat rajin, Beliau juga sangat menyayangi Ibu. Pekerjaan apa saja dalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan Beliau lakukan, selamanya tidak membiarkan Ibu untuk campur tangan.

Se-hari² Ayah Tiri adalah orang yang pendiam. Usianya kira² 40-an lebih, berperawakan tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan besar yang kasar, di wajahnya yang kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yang cekung.

Ayah Tiri saya mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antic berwarna coklat kehitaman. Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”  .
Dalam ingatan saya, Ayah Tiri selalu tenang dalam menghadapi segala persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya dengan santai. Namun hanya karena sebatang pipa rokok, Ayah Tiri telah memberikan saya satu tamparan yang sangat keras.

Teringat waktu itu Ayah Tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih ½ tahun, suatu hari saya menyembunyikan pipa rokoknya. Hasilnya, Beliau selama beberapa hari merasa gelisah dan tidak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karena saya diinterogasi dengan keras oleh ibu, dengan berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.

Ketika saya menyerahkan pipa itu kehadapan Ayah Tiri, Beliau menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak lupa Beliau memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan air mata.

Saya sangat ketakutan dan menangis, Ibu menghampiri dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jgn pernah menyentuh pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”

Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehingga membuat Ayah Tiri bisa meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”

Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap Ayah Tiri, gak peduli bagaimanapun jerih payah pengorbanannya,saya gak pernah menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat Ayah Tiri sama jahatnya seperti Ibu Tiri dalam dongeng Puteri Salju. Sikap saya terhadap Àyah Tiri sangat dingin, acuh tak acuh, lebih² jangan harap menyuruh saya memanggil dia “Ayah”.

Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap Ayah Tiri.

Suatu hari ketika saya baru pulang sekolah, begitu masuk rumah segera melihat kedua tangan Ibu memegangi perut sambil berteriak kesakitan. Ibu ber-guling² di ranjang, butiran besar keringat dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.

Celaka! Penyakit maag Ibu kambuh lagi! Saya dan Adik menangis mencari Ayah Tiri yang bekerja di sawah. Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul ditangannya, sandal pun gak sempat dia pakai. Sesampai di rumah tanpa berkata apapun, segera menggendong Ibu ke rumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika Ibu dan Ayah Tiri kembali ke rumah, hari sudah larut malam, Ibu kelelahan tertidur pulas di atas pundak Ayah Tiri.

Melihat kami berdua, Ayah Tiri dengan nafas ter-sengal², tertawa dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Saya melihat butiran keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yang terburai, jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuh tanah.

Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti
ujian, saya mengalami kegagalan.

“Bu, saya sangat ingin mengulang sekali lagi,” pinta saya pada Ibu.
“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah di SMA, kesehatan Ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua menggantungkan Ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di desa ini yang mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang ke rumah untuk membantu Ayahmu!”

Tapi saya sudah menetapkan niat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu Ayah Tiri tidak mengatakan apa², Beliau duduk di halaman luar menghisap rokok dengan pipa kesayangannya. Saya tidak tahu di alam benaknya sedang memikirkan apa.

Esok harinya Ibu berkata pada saya, “Ayah setuju kamu kuliah, giatlah belajar!”

Ayah Tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan membaca surat penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anak kita diterima diperguruan tinggi!” teriaknya.

Saya dan Ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya. Malam itu tak tahu mengapa Ayah Tiri sangat gembira hingga bicaranya juga banyak.

Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah 4.000.000 itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang tabungannya serta menjual dan meminjam kesana kemari, tetap masih kurang 500.000.

"Gimana nih? Kuliah akan dimulai satu hari lagi". Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan Ayah Tiri berada disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya, saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas Ibu membuat hati saya hancur luluh lantak.

“Sudahlah saya tidak mau kuliah! Apa kalian puas?” Saya berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk kamar, merebahkan diri di ranjang lalu mulai menangis…. Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar yang keras me-nepuk² pundak saya, “Sudah dewasa masih menangis, besok Ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”

Malam itu Ayah membawa pipa rokoknya, menghisap seorang diri di halaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yang sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit getir kehidupan. Dia memejamkan sepasang mata, raut wajahnya menyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan ringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tak seorang pun tahu apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya tidak tenang.

Besoknya Ibu memberitahu saya bahwa Ayah Tiri pergi ke kabupaten.
“Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari harapan hati saya tersirat keluar.
“Dia bilang pergi ke kota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnya bergumam, “Gak tahu.”

Hari itu saya menunggu di depan desa, memandang ke arah jalan kecil yang ber-kelok². Untuk kali pertama perasaan hati saya ada semacam dorongan ingin bertemu Ayah Tiri, dan untuk kali pertama saya merasakan berharganya sosok Ayah Tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung pada dirinya.

Hingga malam saya baru melihat Ayah Tiri pulang. Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalu cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air hangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang pergi 40 km perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut Ibu berkata pada Ayah Tiri.

Saya mengamati wajah Ayah Tiri dengan saksama, dan menemukan bahwa Beliau bukan lagi seorang pria yang masih kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru, dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.

Memang benar, Ayah Tiri sudah tua. Dengan hati² Ibu melepaskan sepasang sepatunya yang hampir rusak. Di bawah sinar temaram lampu neon, terlihat sebuah benjolan darah besar yang sudah membiru masuk dalam pandangan saya, tak tertahankan hati saya merasa sedih, air mata saya diam² menetes keluar…….

Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah, Ayah Tiri mengatakan Beliau tidak enak badan, diluar dugaan Beliau tidak bisa bangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah Ibu berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada diri sendiri. Sebenarnya Ayah Tirimu itu sangat menyayangimu, Dia sangat mengharapkanmu memanggilnya Ayah! Tetapi kamu……” Suara Ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”

Setiap kali membayar uang kuliah, Ayah Tiri pasti pergi ke kota untuk meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya jarang berbicara dengan Ayah Tiri di rumah, Beliau sendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan Ayah Tiri bisa dirasakan setiap orang.

Setiap kali kembali ke tempat kuliah, Ayah Tiri pasti akan mengantar sampai ke tempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan Beliau kebanyakan hanya menghisap pipa rokoknya. Semua kata² yang ingin saya utarakan kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.

Sebenarnya dalam hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian saya selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap Ibu.

Pada liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang hal² menarik di kota,Ayah Tiri duduk di belakang Ibu, sibuk mengeluarkan abu tembakau setelah itu memasukkan tembakau ke dalam pipa, wajahnya penuh dg senyum kebahagiaan. Saya bercerita ttg keadaan kota, Adik membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ah, teman sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop, sedangkan kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya saya mengeluh dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah Ayah Tiri sedikit tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan kata itu.

Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti biasa Ayah Tiri mengantarkan saya. Sepanjang perjalanan, beberapa kali Ayah Tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat berat. Saya sangat berharap Ayah Tiri bisa memulai topic pembicaraan, agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.

Ketika berpisah, Beliau berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai kepandaian apa², tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada Ibumu, biarkan Ibumu bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper baju yang disodorkannya.

Tiba² saya melihat sepasang matanya ber-kaca². Hati saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tapi kata yang telah mengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan kembali.

Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat Ayah Tiri msh berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung. Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi. Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya.

2 bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa Ayah Tiri meninggal dunia. Bagaikan disambar petir di siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan linglung, yang menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang tergantung di tembok.

“Satu²nya hal yang paling disesali Ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih Ibu bercerita.

Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati² saya ambil pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur karena air mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…

30 tahun lalu, Ayah Tiri hidup saling bergantung dengan Ayahnya. Ibu dengan Ayah Tiri adalah teman sepermainan sejak kanak². Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras Kakek, sebab keluarga Ayah Tiri terlalu miskin. Karena Ibu dan Ayah Tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, Kakek terpaksa mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga Ayah Tiri baru mau merestuinya.

Demi anak satu²nya, Ayah dari Ayah Tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang runtuh dan menimbun sang Ayah untuk selamanya. Barang peninggalan satu²nya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup. Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan sayangi adalah Ayahnya. Kemudian Ayah Tiri menyalahkan dirinya dan merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.

Keesokan harinya dia diam² meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya… Dua tahun kemudian Ayah Tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi 1 tahun sebelum Ayah Tiri kembali, Ibu dipaksa untuk menikah ( dengan ayah kandung saya). Untuk selanjutnya Ayah Tiri tidak menikah, yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas darinya.

Setelah Ayah kandung meninggal, Ayah Tiri memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga Ibu, Saya dan Adik. Sejak awal Beliau menolak mempunyai anak sendiri, Beliau berkata kami ini adalah anak kandungnya.

Selesai mendengarkan penuturan Ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat berat seumur hidup Ayah Tiri!

“Ayah Tiri meninggal dunia karena pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Di dalam kotak itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin berhutang pada orang lain….”

Dengan sesenggukan saya menerima kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada 8 lembar kertas di dalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas terkulai diatas ranjang.

Ibu saya buta huruf, kertas² yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yang dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah!
Ayah tiri telah menjual darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah alroji baru…

* * * * * * *

“Ayah! Ayah..” Aku berlutut di depan kuburan Ayah Tiri dengan air mata bercucuran, saya hanya bisa me-nepuk² onggokan tanah merah yang ada dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya ber-teriak², tetap tak akan memanggil kembali bayangannya.

Dan seperti Ayah Tiri saya, saya pun membawa pipa rokok coklat kehitaman itu kemanapun saya pergi, saya akan mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya, mengenang Ayah Tiri untuk selamanya..

3 comments:

  1. keren gan...bisa jadi pengingat buat ane juga
    oya pic nya ijin copas ya :)

    ReplyDelete

like and share

  • Share
  • [i]