Monday 3 September 2012

::: Tidak Harus berwujud Bunga (the story of a wife) :::

Suamiku adalah seorang Engineer, aku mencintai sifatnya yang alami dan aku menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaanku ketika aku bersandar di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, aku harus akui, bahwa aku mulai merasa lelah, alasan-alasanku mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Aku seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. 

Aku merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah aku dapatkan. Suamiaku jauh berbeda dari yang aku harapkan. Rasa sensitif-nya kurang, dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapanku akan cinta yang ideal.

Suatu hari, aku beranikan diri untuk mengatakan keputusanku kepadanya, bahwa aku menginginkan perceraian.
"Mengapa??", tanya suamiku dengan terkejut.
"Aku lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang aku inginkan," jawabku.
Suamiku hanya bisa diam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaanku semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa kuharapkan darinya?

Dan akhirnya suamiku bertanya, "Apa yang dapat aku lakukan untuk merubah pikiran kamu?" Aku menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Aku punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaanku, aku akan merubah pikiranku: Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk aku?" Dia termenung dan akhirnya berkata, "Aku akan memberikan jawabannya besok.” Hatiku langsung gundah mendengar responnya.
Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan aku menemukan selembar kertas dengan coret-coretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan "Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya." Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan aku. Aku melanjutkan untuk membacanya. 

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baikmu' datang setiap bulannya, dan aku harus memberikan tanganku untuk memijat kakimu yang pegal. 

“Kamu senang diam di rumah, dan aku selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk  sekedar menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.”

“Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Aku harus menjaga mataku agar ketika kita tua nanti,aku masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi sayang, aku tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, aku tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematianku."

"Sayang, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah kuberikan melalui tanganku, kakiku, mataku tidak cukup buat kamu, aku tidak bisa menahanmu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu."

Air mataku jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur,tetapi aku tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawabanku ini, Sayang, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku berjanji tidak akan mempersulit hidupmu lagi. Percayalah, bahagiaku  adalah bila kamu bahagia."

Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Aku segera memeluknya sambil terisak, tanpa memperdulikan susu di tangannya akan tumpah atau roti di genggamannya akan jatuh. Dan masih dengan susu dan roti di tangannya, dia memelukku dan membisikkan "Sayang, percayalah, aku mencintaimu luar biasa, meskipun dengan cara yang biasa-biasa saja" 

Oh.. Betapa kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintaiku lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. 

Karena akhirnya aku tahu, bahwa cinta tidak selalu harus berwujud "bunga."


No comments:

Post a Comment

like and share

  • Share
  • [i]