Wednesday 26 September 2012

Rembulan Tenggelam di Wajahmu



Penulis: Tere-liye
Genre: Fiksi
Penerbit: Republika
Tebal Buku: 426 Halaman


Hmmmm…. Buku yang luar biasa I think. Karena menyuguhkan sebuah kisah hidup yang luar biasa. Kerangka cerita buku ini tak lain merupakan flashback perjalanan hidup seorang pasien berusia 60 tahun (Ray namanya) yang sedang terbaring koma selama 6 bulan di ruang VVIP rumah sakit. Dalam koma nya, dia mengalami perjalanan mengenang masa lalunya, yang sekaligus menjawab lima pertanyaan besar dalam hidupnya. Ditemani seseorang dengan wajah menyenangkan yang sama sekali tidak dia kenal (Nabi Khidir??). Orang itulah yang memberikan penjelasan atas lima pertanyaan besar dalam hidupnya. Yang juga menyingkap beberapa kisah dibalik kejadian yang sama sekali tidak ia ketahui. Kisah yang selalu membuat ia menangis tergugu, tercengang, menyesal, marah, terdiam..

Dimulai dengan kisah kehidupan Ray kecil yang terdampar di panti terkutuk selama 16 tahun. 16 tahun yang penuh dengan cacian Penjaga Panti sok-suci yang suka marah-marah, pecutan bilah rotan, makanan yang selalu dijatah, selalu disuruh-suruh, jadi kuli. Ahhh…

Kisah seorang remaja tanggung yang hidup di Rumah Singgah, yang mampu memberikan sepotong kehidupan baru yang indah baginya. Anak-anak lain menjadi keluarga baginya. Mereka malah lebih dari sekedar keluarga. Di Rumah Singgah itulah Ray dan kawan-kawan yang lain bisa menatap cerah janji masa depan. Meraih mimpi-mimpi mereka yang kurang sejengkal lagi menjadi kenyataan. Namun semua mimpi itu tercerabut ketika janji baik itu persis tiba. Menyakitkan. Menyisakan kepedihan.

Kisah seorang pengamen remaja yang bertemu dengan seorang pencuri kelas kakap bernama Plee. Yang akhirnya merencanakan pencurian berlian seribu karat. Dan gagal. Plee, yang akhirnya meyerahkan diri dan dieksekusi mati enam tahun kemudian.

Kisah seseorang yang jatuh cinta dengan si “Gigi Kelinci” dan akhirnya menikah. Keluarga yang bahagia, namun tidak juga dikarunia anak karena selalu keguguran, dua kali. Keguguran yang kedua itu merenggut dua nyawa sekaligus. Istri dan anaknya.

Kisah seorang kuli-bangunan gedung milik Koh Cheu, yang selanjutnya menjadi orang sukses dengan imperium bisnisnya yang menggurita, yang berhasil menyingkirkan taipan-taipan licik, yang memiliki gedung tertinggi di kota itu.

Kisah seseorang yang selalu merasa damai setiap menatap rembulan.

Plee dan partnernya, “Gigi Kelinci”, Koh Cheu. Keterlibatan orang-orang tersebut dalam khidupan Ray  memanglah suatu kebetulan yang mencengangkan. Ah, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Orang-orang itu ternyata amatlah dekat dengan misteri masa lalunya. Tentang kebakaran yang di sengaja itu, tentang Ayah-Bundanya.


::: Aku Pertanyaan Pertama :::

“KAU sudah menyebutkan berkali-kali pertanyaan besar pertama dalam hidupmu, Ray…. Kenapa kau harus menghabiskan masa kanak-kanak di tempat itu? Mengapa panti asuhan yang menyebalkan itu? Kenapa tidak di tempat lain…. Kenapa kau harus melalui masa kanak-kanak yang seharusnya menyenangkan justru di tempat yang paling kau benci sepanjang hidupmu”


::: Aku Pertanyaan Kedua :::

“Ray, hampir semua manusia pernah mengeluarkan pertanyaan tersebut. Apakah hidup ini adil? Dari jaman batu hingga entah ke mana peradaban manusia akan dibawa. Muda-tua, laki perempuan, kaya-miskin, sehat-sakit, raja-pelayan, panglima-pesuruh, tidak mengenal ras, suku, agama, tidak mengenal batas-batas. Mereka pasti pernah bertanya, setidaknya sekali sepanjang hidup. Tidak peduli meski orang itu manusia pilihan. Utusan-utusan langit.” Orang dengan dengan wajah menyenangkan tersenyum, menurunkan kembali tangan-tangannya yang terentang.

Kereta listrik mengeluarkan lenguhan. Memekakkan telinga.

“Tahukah kau, ribuan tahun lalu, salah seorang manusia pilihan sempat melalui sebuah perjalanan besar bersamaku. Bukan, bukan perjalanan mengenang masa lalu macam ini. Tidak seperti ini, Ray. Dia tidak diberikan lima kesempatan bertanya, dia justru sebaliknya, diberikan tiga kali kesempatan untuk tidak banyak tanya tentang apa yang akan kulakukan.”


::: Aku Pertanyaan Ketiga :::

“Ah, urusan ini memang menyedihkan. Amat menyedihkan. Kau layak bertanya, bagaimana mungkin langit begitu tega mengambil semuanya. Serentak dalam satu tepukan. Hanya menyisakan kau yang jatuh tersungkur, sendiri. Hanya mengembalikan kenangan-kenangan pahit masa lalu itu. Menusuk hati.” Orang dengan wajah menyenangkan itu tengadah menatap langit, tetes air hujan membasahi wajahnya. Tersenyum getir.

“Inilah pertanyaan ketigamu, bukan? kenapa langit tega sekali mengambil istrimu. Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi?

....

....

“Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan… Dalam kasusmu, penjelasan ini akan teramat rumit kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisi kau sendiri, yang ditinggalkan. Kau harus memahaminya dari sisi istrimu, yang pergi….”


::: Aku Pertanyaan Keempat :::

“Ray, kita sudah tiba di pertanyaan keempatmu. Kau sudah menyebutkannya dalam kenangan itu berkali-kali. Lima pertanyaan. Lima jawaban. Ini yang keempat…. Bagaimana kau merangkaikan pertanyaan keempat itu dalam sebuah kalimat? Ahya, tentu saja… ternyata setelah sejauh ini semuanya tetap terasa kosong, hampa. Ternyata semua yang kau miliki tidak pernah memberikan kebahagiaan seperti yang pernah kau dapatkan bersama istrimu, padahal kau memiliki segalanya, memiliki banyak.” Orang itu menghela nafas. Diam sejenak. Udara dingin mengalir dari celah pendingin. Membuat nyaman ruangan tertinggi di Ibukota itu.

“Ray, hampir setiap orang memiliki pertanyaan ini. Persis seperti anak kecil yang iri dengan mainan baru milik temannya, dan mereka mulai berseru-seru: Aku mau mainan itu! Aku mainan itu! Itu sama saja dengan orang dewasa yang berseru; Aku pikir kehidupan mereka lebih indah! Aku pikir semua kekayaan itu akan memberikan rasa tenteram! Aku pikir aku akan pernah merasa cukup! Aku pikir! Soal dunia seperti ini, kita sungguh menyedihkan.”


::: Aku Pertanyaan Kelima :::

“Perjalanan hebat, Ray. Bukan main. Enam puluh tahun yang luar biasa.”
 Pasien itu mengusap wajahnya. Terdiam.
“Dan di sinilah semua berakhir. Kita akhirnya tiba di pertanyaan terakhirmu, Ray. Pertanyaan kelima. Pertanyaan yang setiap malam muncul di kepalamu enam tahun terakhir. Kenapa kau harus mengalami sakit berkepanjangan? Kenapa takdir sakit itu mengungkungmu? Seperti empat pertanyaan sebelumnya, aku juga akan menjawabnya, tentu saja.” Orang itu tertawa pelan.

.....

….

“Nah sekarang mari kita kembali ke Panti terkutuk itu. Mari Ray, kau akan menyaksikan dengan matamu sendiri. Kau pikir hidupmu sudah amat menyakitkan, bukan? Kau membenci orang-orang yang membakar rumah orang tuamu, kau amat membenci orang-orang yang merenggut janji kebahagiaan masa kanak-kanakmu, orang-orang jahat di sekitarmu, sekarang kita lihat, apakah kau akan tetap merasa paling layak mengutuk Tuhan? Inilah jawaban sesungguhnya kenapa kau harus sakit berkepanjangan selama enam tahun terakhir, Ray. AYO, IKUT DENGANKU!” orang dengan wajah menyenangkan itu untuk pertama kalinya menatap dingin. Menusuk.

.....

.....

ANGKAT KEPALAMU, RAY! Lihat gadis kecil di ayunan itu. Nama anak itu Rinai. Ia lahir berdarah-darah sehari kemudian setelah kecelakaan tersebut dari rahim Ibunya yang sudah menjadi bangkai. Kelahiran yang menyedihkan. Dokter berkutat mengambil bayi prematur itu dari mayat ibunya. LIHATLAH, RAY! Kau pikir kaulah yang paling berhak mengutuk Tuhan? Menyalahkan seluruh dunia? Kau pikir kaulah orang yang memiliki takdir paling menyakitkan? Kau sungguh keliru, Ray. Sungguh keliru…. Gadis kecil itu lebih menyakitkan, dan kaulah penyebabnya.”


*****

Penjelasan lengkap dari 5 pertanyaan di atas memang selalu bisa membuat penasaran, dan diakhiri dengan sebuah berita yang mencengangkan. Lima pertanyaan, lima jawaban. Kelimanya jelas-jelas menampar kita untuk tersadar, betapa tidak ada kehidupan ini yang sia-sia. Tidak ada kehidupan ini yang tidak adil. Bagaimanakah mungkin kehidupan ini tidak adil?? Bukankah perencananya adalah yang MAHA ADIL?? Lalu??

Pesan dari penulis buku ini sederhana saja sebenarnya. Hargai dan syukurilah kehidupan. Apapun bentuknya kehidupan kita. Seburuk apapun takdir kehidupan kita, meskipun tersuruk-suruk, pontang-panting, jatuh-bangun, pahit-getir. Karena kita sama sekali tidak tahu rencana dibalik kehidupan kita. Hal terbaik yang dapat kita lakukan hanyalah menengadah ke langit, berterima kasih, pasrah, selesai.

God,
Thanks for everything
Thanks for everything
Thanks for everything
Amiin..

No comments:

Post a Comment

like and share

  • Share
  • [i]