Penulis: Tere-liye
Genre: Fiksi
Penerbit: Republika
Tebal Buku: 426 Halaman
Hmmmm…. Buku yang luar biasa I think. Karena menyuguhkan sebuah kisah
hidup yang luar biasa. Kerangka cerita buku ini tak lain merupakan flashback perjalanan hidup seorang
pasien berusia 60 tahun (Ray namanya) yang sedang terbaring koma selama 6 bulan
di ruang VVIP rumah sakit. Dalam koma nya, dia mengalami perjalanan mengenang
masa lalunya, yang sekaligus menjawab lima
pertanyaan besar dalam hidupnya. Ditemani seseorang dengan wajah
menyenangkan yang sama sekali tidak dia kenal (Nabi Khidir??). Orang itulah yang memberikan penjelasan atas lima pertanyaan besar dalam hidupnya.
Yang juga menyingkap beberapa kisah dibalik kejadian yang sama sekali tidak ia
ketahui. Kisah yang selalu membuat ia menangis tergugu, tercengang, menyesal,
marah, terdiam..
Dimulai dengan kisah kehidupan Ray
kecil yang terdampar di panti terkutuk selama 16 tahun. 16 tahun yang penuh
dengan cacian Penjaga Panti sok-suci yang suka marah-marah, pecutan bilah
rotan, makanan yang selalu dijatah, selalu disuruh-suruh, jadi kuli. Ahhh…
Kisah seorang remaja tanggung
yang hidup di Rumah Singgah, yang mampu memberikan sepotong kehidupan baru yang
indah baginya. Anak-anak lain menjadi keluarga
baginya. Mereka malah lebih dari sekedar keluarga. Di Rumah Singgah itulah Ray
dan kawan-kawan yang lain bisa menatap cerah janji masa depan. Meraih
mimpi-mimpi mereka yang kurang sejengkal lagi menjadi kenyataan. Namun semua
mimpi itu tercerabut ketika janji baik itu persis tiba. Menyakitkan. Menyisakan
kepedihan.
Kisah seorang pengamen remaja
yang bertemu dengan seorang pencuri kelas kakap bernama Plee. Yang akhirnya
merencanakan pencurian berlian seribu
karat. Dan gagal. Plee, yang akhirnya meyerahkan diri dan dieksekusi mati
enam tahun kemudian.
Kisah seseorang yang jatuh cinta
dengan si “Gigi Kelinci” dan akhirnya
menikah. Keluarga yang bahagia, namun tidak juga dikarunia anak karena selalu
keguguran, dua kali. Keguguran yang kedua itu merenggut dua nyawa sekaligus.
Istri dan anaknya.
Kisah seorang kuli-bangunan
gedung milik Koh Cheu, yang selanjutnya menjadi orang sukses dengan imperium
bisnisnya yang menggurita, yang berhasil menyingkirkan taipan-taipan licik,
yang memiliki gedung tertinggi di kota itu.
Kisah seseorang yang selalu
merasa damai setiap menatap rembulan.
Plee dan partnernya, “Gigi Kelinci”, Koh Cheu. Keterlibatan orang-orang tersebut dalam khidupan Ray memanglah suatu kebetulan yang mencengangkan. Ah, tak
ada yang kebetulan di dunia ini. Orang-orang itu ternyata amatlah dekat dengan
misteri masa lalunya. Tentang kebakaran yang di sengaja itu, tentang Ayah-Bundanya.
::: Aku Pertanyaan Pertama :::
“KAU
sudah menyebutkan berkali-kali pertanyaan besar pertama dalam hidupmu, Ray….
Kenapa kau harus menghabiskan masa kanak-kanak di tempat itu? Mengapa panti asuhan yang menyebalkan itu? Kenapa
tidak di tempat lain…. Kenapa kau harus melalui masa kanak-kanak yang
seharusnya menyenangkan justru di tempat yang paling kau benci sepanjang hidupmu”
::: Aku Pertanyaan Kedua :::
“Ray, hampir semua manusia pernah mengeluarkan pertanyaan
tersebut. Apakah hidup ini adil? Dari
jaman batu hingga entah ke mana peradaban manusia akan dibawa. Muda-tua, laki
perempuan, kaya-miskin, sehat-sakit, raja-pelayan, panglima-pesuruh, tidak
mengenal ras, suku, agama, tidak mengenal batas-batas. Mereka pasti pernah
bertanya, setidaknya sekali sepanjang hidup. Tidak peduli meski orang itu
manusia pilihan. Utusan-utusan langit.” Orang
dengan dengan wajah menyenangkan tersenyum, menurunkan kembali tangan-tangannya
yang terentang.
Kereta
listrik mengeluarkan lenguhan. Memekakkan telinga.
“Tahukah
kau, ribuan tahun lalu, salah seorang manusia pilihan sempat melalui sebuah
perjalanan besar bersamaku. Bukan, bukan perjalanan mengenang masa lalu macam
ini. Tidak seperti ini, Ray. Dia tidak diberikan lima kesempatan bertanya, dia
justru sebaliknya, diberikan tiga kali kesempatan untuk tidak banyak tanya tentang apa yang akan kulakukan.”
::: Aku Pertanyaan Ketiga :::
“Ah, urusan ini memang menyedihkan.
Amat menyedihkan. Kau layak bertanya, bagaimana
mungkin langit begitu tega mengambil semuanya. Serentak dalam satu tepukan.
Hanya menyisakan kau yang jatuh tersungkur, sendiri. Hanya mengembalikan
kenangan-kenangan pahit masa lalu itu. Menusuk hati.” Orang dengan wajah
menyenangkan itu tengadah menatap langit, tetes air hujan membasahi wajahnya.
Tersenyum getir.
“Inilah pertanyaan ketigamu,
bukan? kenapa langit tega sekali
mengambil istrimu. Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi?
....
....
“Apapun
bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu
dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi
yang ditinggalkan… Dalam kasusmu,
penjelasan ini akan teramat rumit kalau kau memaksakan diri memahaminya dari
sisi kau sendiri, yang ditinggalkan. Kau
harus memahaminya dari sisi istrimu, yang
pergi….”
::: Aku Pertanyaan Keempat :::
“Ray, kita sudah tiba di
pertanyaan keempatmu. Kau sudah menyebutkannya dalam kenangan itu berkali-kali.
Lima pertanyaan. Lima jawaban. Ini yang keempat…. Bagaimana kau merangkaikan
pertanyaan keempat itu dalam sebuah kalimat? Ahya, tentu saja… ternyata setelah sejauh ini semuanya tetap
terasa kosong, hampa. Ternyata semua yang kau miliki tidak pernah
memberikan kebahagiaan seperti yang pernah kau dapatkan bersama istrimu,
padahal kau memiliki segalanya, memiliki banyak.” Orang itu menghela nafas. Diam
sejenak. Udara dingin mengalir dari celah pendingin. Membuat nyaman ruangan
tertinggi di Ibukota itu.
“Ray,
hampir setiap orang memiliki pertanyaan ini. Persis seperti anak kecil yang iri
dengan mainan baru milik temannya, dan mereka mulai berseru-seru: Aku mau
mainan itu! Aku mainan itu! Itu sama saja dengan orang dewasa yang berseru; Aku
pikir kehidupan mereka lebih indah! Aku pikir semua kekayaan itu akan
memberikan rasa tenteram! Aku pikir aku akan pernah merasa cukup! Aku pikir! Soal dunia seperti ini, kita
sungguh menyedihkan.”
::: Aku Pertanyaan Kelima :::
“Perjalanan hebat, Ray. Bukan
main. Enam puluh tahun yang luar biasa.”
Pasien
itu mengusap wajahnya. Terdiam.
“Dan di sinilah semua berakhir.
Kita akhirnya tiba di pertanyaan terakhirmu, Ray. Pertanyaan kelima. Pertanyaan
yang setiap malam muncul di kepalamu enam tahun terakhir. Kenapa kau harus mengalami sakit berkepanjangan? Kenapa takdir sakit
itu mengungkungmu? Seperti empat pertanyaan sebelumnya, aku juga akan
menjawabnya, tentu saja.” Orang itu tertawa pelan.
.....
….
“Nah
sekarang mari kita kembali ke Panti terkutuk itu. Mari Ray, kau akan menyaksikan
dengan matamu sendiri. Kau pikir hidupmu sudah amat menyakitkan, bukan? Kau
membenci orang-orang yang membakar rumah orang tuamu, kau amat membenci orang-orang
yang merenggut janji kebahagiaan masa kanak-kanakmu, orang-orang jahat di
sekitarmu, sekarang kita lihat, apakah kau akan tetap merasa paling layak
mengutuk Tuhan? Inilah jawaban sesungguhnya kenapa kau harus sakit
berkepanjangan selama enam tahun terakhir, Ray. AYO, IKUT DENGANKU!” orang
dengan wajah menyenangkan itu untuk pertama kalinya menatap dingin. Menusuk.
.....
.....
ANGKAT
KEPALAMU, RAY! Lihat gadis kecil di ayunan itu. Nama anak itu Rinai. Ia lahir
berdarah-darah sehari kemudian setelah kecelakaan tersebut dari rahim Ibunya
yang sudah menjadi bangkai. Kelahiran yang menyedihkan. Dokter berkutat
mengambil bayi prematur itu dari mayat ibunya. LIHATLAH, RAY! Kau pikir kaulah
yang paling berhak mengutuk Tuhan? Menyalahkan seluruh dunia? Kau pikir kaulah
orang yang memiliki takdir paling menyakitkan? Kau sungguh keliru, Ray. Sungguh
keliru…. Gadis kecil itu lebih menyakitkan, dan kaulah penyebabnya.”
*****
Penjelasan lengkap dari 5 pertanyaan di
atas memang selalu bisa membuat penasaran, dan diakhiri dengan sebuah berita
yang mencengangkan. Lima pertanyaan, lima jawaban. Kelimanya jelas-jelas
menampar kita untuk tersadar, betapa tidak ada kehidupan ini yang sia-sia.
Tidak ada kehidupan ini yang tidak adil. Bagaimanakah mungkin kehidupan ini
tidak adil?? Bukankah perencananya adalah yang MAHA ADIL?? Lalu??
Pesan dari penulis buku ini
sederhana saja sebenarnya. Hargai dan syukurilah kehidupan. Apapun bentuknya
kehidupan kita. Seburuk apapun takdir kehidupan kita, meskipun tersuruk-suruk,
pontang-panting, jatuh-bangun, pahit-getir. Karena kita sama sekali tidak tahu
rencana dibalik kehidupan kita. Hal terbaik yang dapat kita lakukan hanyalah
menengadah ke langit, berterima kasih, pasrah, selesai.
God,
Thanks for everything
Thanks for everything
Thanks for everything
Amiin..
No comments:
Post a Comment